Somasi Untuk Ustadz Abu Yahya Badrussalam Terkait Dukungannya Terhadap Densus 88


Oleh: Abu Husein At-Thuwailibi



Disela-sela menelan pahitnya hiruk pikuk cobaan kehidupan dan berbagai problematika, saya sempatkan menulis risalah singkat ini sebagai rasa syukur kepada Allah sekaligus ucapan terimakasih kepada yang terhormat Al-Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc. Hafizhahullahu Ta'ala.

Beberapa waktu lalu banyak para ustadz yang menyayangkan pernyataan Abu Yahya Badrussalam, Lc. Ustadz ganteng berdarah Sunda yang diidolakan banyak para ummahat itu. Tidak sedikit di antara mereka yang mengkritik pernyataan beliau terkait Densus 88. Di sela-sela susahnya menemui beliau dalam rangka tabayyun dan mencoba mengajak diskusi, kami pun mencoba menulis beberapa risalah ringkas mengenai hal ini. Dan alhamdulillah, lewat akun facebooknya Ustadz Abu Yahya Badrussalam memberikan klarifikasi secara umum.

Berikut klarifikasi Abu Yahya Badrussalam:

*************

*Tentang Densus 88*

Alhamdulillah washolatu wasalaam alaa rosulillah. Amma ba'du:
Banyak pembicaraan tentang pendapat saya mengenai seputar ini. Saya hanya ingin menyatakan:

1. Pembicaraan tentang densus waktu itu adalah seputar terorisme yang suka membom dan berbuat keonaran di muka bumi. Islam mengizinkan pemerintah untuk memerangi teroris yaitu orang-orang yang berbuat keonaran dan merusak kedamaian. Sebagaimana dahulu Ali bin Abi Thalib memerangi kaum Khawarij dan telah ada hadits yang memerintahkan memerangi kaum Khawarij yang berbuat kerusakan di muka bumi.

Adapun bila yang dimaksud teroris itu adalah seorang muslim yang mengikuti Sunnah Rasulullah dan tidak berbuat keonaran di muka bumi, maka saya berlepas diri darinya.

2. Adapun tentang kesalahan ijtihad, maka saya beriman bahwa syarat ijtihad adalah berat dan harus memenuhi kriteria yang disebutkan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Namun ijtihad yang dimaksud oleh saya adalah berusaha bersungguh-sungguh untuk memastikan bahwa memang dia pelaku terorisme, dan pekerjaan seperti ini bukanlah tugas para ulama, akan tetapi diserahkan kepada mereka yang ahli di bidangnya. Dan bila mereka telah bersungguh-sungguh namun qodarollah salah, maka pembunuh yang salah tidak berdosa namun hendaknya ia membayar diyat sebagaimana disebutkan dalam kitab kitab fiqih.

3. Tidak ragu lagi bahwa darah seorang Mukmin adalah besar di mata Allah. Tidak boleh serampangan mengucurkan darah seorang Muslim hanya karena sebatas tuduhan belaka. Bahkan hukuman had saja dapat gugur karena adanya syubhat. Adapun tuduhan bahwa saya menghalalkan darah muslim maka itu adalah kedustaan dan menghukumi dengan lazim qoul. Sedangkan menghukumi dengan lazim qoul adalah bathil.

4. Hendaknya kita mendukung pemerintah untuk memerangi terorisme dan segala yang mengancam keutuhan negara, dan memberikan masukan kepada mereka tentang siapa sebenarnya teroris yang ingin merusak negara seperti kaum syiah rafidhah yang merekalah sebetulnya teroris sebagaimana kita lihat perbuatan mereka di negeri negeri Islam seperti Suriah, Iraq, dll. Demikian pula khawarij ISIS atau semua yang berbuat keonaran dengan pemboman dan sebagainya.

5. Hendaknya kita sesama kaum muslim saling menasehati, dan memberi udzur saudaranya. Alhamdulillah kebenaran lebih saya cintai dari pada ngeyel di atas kebathilan. Kewajiban kaum Muslimin untuk berbaik sangka terlebih dahulu dan memberi maaf.

Dan akhirnya kita memohon kepada Allah, agar Allah memepersatukan kaum muslimin di atas al haq dan agar Allah menolong islam dan kaum muslimin dari semua tipu daya muslihat kaum yang tidak beriman.
(selesai kutipan)

TANGGAPAN KAMI:

Jazaakallahu khairan atas Klarifikasi Ustadz dalam menjelaskan duduk perkaranya. Dan ketahuilah bahwa kita semua berhusnuzhon dengan saudara muslim sehingga kita berhati-hati dalam menghukumi.
Thoyyib, dari 5 point yang Ustadz sampaikan di atas, perlu kita renungi bersama:

1. Point pertama yang ustadz sampaikan di atas mestinya disampaikan pula di hadapan para anggota Densus itu, bila perlu sampaikan ke BNPT bahwa seorang muslim yang mengikuti Sunnah Rasulullah dan tidak membuat keonaran di muka bumi seperti pengeboman misalnya, maka dia BUKANLAH TERORIS.

Pertanyaan saya: mengapa Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman, Ustadz Abdurrahim, dan Ustadz Abdul Rasyid Ridha; rekening mereka dibekukan oleh pemerintah RI? Padahal mereka adalah da'i-da'i muslim yang konsisten dengan Sunnah Rasulullah dan tidak pernah mengajarkan pengeboman. Mengapa rekening mereka dibekukan dan dianggap sebagai "teroris"?

Sebenarnya, terorisme dan teroris merupakan kata yang baru kita dengar satu dekade belakangan ini. Kata ini mulai akrab di telinga kita saat Amerika Serikat melancarkan serangan ke Taliban di Afghanistan pasca serangan WTC 11 September 2001. Istilah yang dikampanyekan oleh Amerika untuk mendapatkan simpati dunia dalam invasi tersebut adalah War on Terror. Sejak saat itu istilah ini Amerika gunakan sebagai alasan untuk setiap aksi brutal mereka terhadap negeri-negeri Muslim. Sebut saja Afghanistan, Irak, Yaman, dan yang terbaru adalah invasi mereka ke Suriah.

Namun belum ada definisi yang disepakati oleh dunia dalam memaknai kata “teror” itu sendiri. Sehingga dalam memaknai kata teror itu sendiri kembali kepada subjektifitas pihak yang berkepentingan. Mazhab penyematan istilah terorisme adalah mazhab “suka-suka” oleh pemangku mandat untuk menangani terorisme, yang dalam konteks ke-Indonesia-an adalah Densus 88.

Karena tidak adanya makna yang definitif tentang apa itu terorisme, maka dakwaan terorisme atas seseorang yang didasarkan mazhab “suka-suka” tadi mengandung syubhat. Sebab, tidak ada pijakan yang jelas apa yang dimaksud dengan terorisme. Terkhusus bagi seorang alim rabbani seperti Ustadz Abu Yahya Badrussalam, apakah definisi terorisme (hirobah) dalam Al-Qur’an itu sama dengan apa yang diinginkan Densus 88, BNPT atau Amerika selaku penggagas awal isu terorisme ini? Tolong dijawab.

Karena kelemahan landasan tersebut, seharusnya tindakan Densus 88 yang main bunuh digugat atau setidaknya dipertanyakan. Sebab, Tudro’ul hudud bisy-syubuhat. Hudud (hukum pidana Islam) tertolak dengan adanya syubhat. Seharusnya, sebelum asal menganggap tindakan Densus 88 sebagai sebuah ijtihad, ada baiknya Ustadz Abu Yahya Badrussalam juga memahami apa definisi terorisme menurut mazhab suka-suka BNPT. Na'am. Baarakallahufiik.

2. Coba dengarkan ulang rekaman anda ya Ustadz, di situ jelas Ustadz mengatakan begini:
"Pak Densus itu khan melaksanakan tugas saja. Mereka sudah berusaha untuk mencari para teroris-teroris yang memang mereka itu tersangka berbuat keonaran sebagai pelaku-pelaku terorisme. Kalau mereka (Densus) sudah berusaha ternyata salah (tembak) orang, mudah-mudahan Allah memaafkan mereka.

Karena dalam Islam saja pak, seseorang sudah berusaha ijtihad dan berusaha untuk mengetahui suatu permasalahan kemudian salah, maka diberikan pahala satu. Kalau misalnya orang-orang Densus tu sudah diperintahkan oleh oleh pemerintah, “Kamu cari saja teroris itu,” kemudian mereka sudah melaksanakan tugas, ternyata salah orang qodarrallah, bagaimana? Sementara sudah berusaha semoga Allah memaafkan, yang terpenting mereka sudah berusaha sekuat tenaga."
(selesai kutipan)

Jika Densus dihitung ijtihad maka sudah dapat disimpulkan bahwa kedudukan ijtihad itu "jika betul dapat pahala dua dan jika salah dapat pahala satu".

Soal nyawa salah bunuh bisakah diambil kedudukan ijtihad?
Seingat kami dalam keputusan had hukuman mati semuanya mesti sah dengan bukti valid. Tidak boleh jika masih syubhat. Yakni bisa salah bisa betul.
Sudah banyak korban Densus karena kerjanya serampangan terbunuh sia-sia, salah tangkap dll. Kok bisa dibilang ijtihad?

Ketahuilah Ustadz, anggota Densus 88 itu banyak yang KAFIR.

Apakah mereka ijtihad? Lalu masuk surga degan ijtihad mereka? Bisakah orang kafir masuk surga dengan ijtihad?

Dalam pernyataan Ustadz seolah-olah menganggap Densus 88 adalah sekelompk mujtahidin yang apabila salahpun tetap mendapat satu pahala. Padahal, dalam syariat Islam seorang yang membunuh tanpa sengaja (qotlul khoto’), walaupun dia tidak berdosa akan tetapi syariat membebankan untuk membayar kafarat, dan alhamdulillah Ustadz meyakini akan hal ini.

Ini jika yang terjadi adalah qotlul khoto’. Secara faktual, apa yang dilakukan Densus bukanlah qotlul khoto’. Bisa berupa qotlu syibhil amdi (pembunuhan yang mirip sengaja), bahkan bisa jatuh kepada qotlul amdi (pembunuhan yang disengaja) yang hukumannya adalah qishos (dibalas bunuh).

Penyamaan Ustadz antara Densus 88 dan Mujtahid jelas tidak nyambung dan bahkan ngawur!

Mengapa?
Karena ijtihad adalah sebuah perkara yang tidak sembarang kepala bisa atau boleh melakukannya. Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Harus ada kriteria tertentu yang dipenuhi agar ia berhak mendapatkan sertitifikasi ijtihad. Dari empat contoh syarat ijtihad yang dipaparkan Syaikh Muhammad Abu Zahroh dalam Kitab Ushulul Fiqh-nya, terlalu jauh dengan karakter, tindakan dan kehidupan sehari-hari Densus 88.

Toh andaikan Densus 88 memiliki kriteria tersebut, bukan berarti memiliki legitimasi untuk sembarangan membunuh seorang Muslim. Karena darah seorang Muslim itu tak ternilai. Rusaknya dunia dan seisinya tidak lebih berarti di hadapan Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim tanpa alasan yang dibenarkan.

3. Setahu kami para Ulama terdahulu mengkafirkan bangsa Tartar karena berhukum dengan Alyasiq. Yang mirip dengan demokrasi. Sedangkan jelas bahwa demokrasi itu syirik akbar.
Bagaimana tidak, Demokrasi adalah kedaulatan ada di tangan rakyat. sedangkan Islam kedaulatan ada di tangan Allah. Demokrasi menjadikan Allah lebih rendah dari manusia. Karena tidaklah Hukum Allah bisa dipraktekkan kecuali harus melalui voting.

Bagaimana bisa Ustadz meng-qiaskan Pemerintah yang jelas-jelas menggunakan hukum syirik dengan pemerintah Khalifah Ali bin Abi tholib?

Apakah sama antara yang menjadikan standar kebenaran itu Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan yang menjadikan kebenaran dan tempat kembali segala perselisihan itu Undang-undang buatan penjajah KAFIR Belanda (yang di Indonesia hukumnya lebih didahulukan dari Hukum aturan Allah). Kenapa Ustadz tidak meng-qiyaskan dengan Tartar padahal itu lebih mirip?

Bukankah syarat tidak boleh memberontak sampai kita melihat kekufuran yang jelas yang kita memiliki hujah di sisi Allah? Sedangkan demokrasi itu menyekutukan Allah. mi'ah bil-mi'ah. Mereka hanya mau menggunakan aturan Allah kalau sudah mereka sensor, melalui voting dsb. Mereka menjadikan Allah lebih rendah dari manusia. Dan inilah inti kesyirikan, yakni MENGANGKAT DERAJAT MANUSIA KE DERAJAT KETUHANAN DAN MENURUNKAN DERAJAT ALLAH KE DERAJAT LEBIH RENDAH DI BANDING RAKYAT.

Dan sebagai catatan, bahwa bukan berarti kami mengkafirkan ummat Islam di Indonesia atau mengkafirkan para pelaku politik, sebab tidak sedikit di antara mereka yang jahil akan hal ini sampai tegak atas mereka hujjah dan sampainya kebenaran tanpa syubhat. Singkat kata: Kami BUKAN TAKFIRI.

4. Kami setuju dengan Ustadz bahwa teroris sejati itu adalah Syi'ah. Lantas mengapa hal itu tidak Ustadz suarakan ke pemerintah RI sementara Ustadz dan kawan-kawan sangat dekat dengan pemerintah RI bahkan menjadi tangan kanan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme?!

Mengapa Ustadz tidak suarakan hal itu sehingga pemerintah mestinya memblokir seluruh situs-situs Syi'ah di indonesia. Namun justru sebaliknya, pemerintah RI memblokir situs-situs islam yang anti Syiah dan membekukan aset serta rekening para da'i yang anti Syi'ah?!
Ada apa ini?
Allahu A'lam.

Hendaknya kita sesama kaum Muslimin saling menasehati dalam kebenaran dan memberi udzur saudaranya yang keliru dalam satuan-satuan tertentu. Tidak mudah memvonisnya sebagai "Teroris", "Khawarij", dst. Jangan sampai kita ini dijadikan bahan adu domba oleh musuh kita bersama.

Dan akhirnya kita memohon kepada Allah, agar Allah mempersatukan kaum muslimin di atas al-Haq dan agar Allah menolong Islam dan kaum muslimin dari semua tipu daya muslihat kaum yang tidak beriman, serta kaum yang memusuhi islam, semisal Densus 88.

Aamiin.

[www.tribunislam.com]

No comments:

Post a Comment