Menasehati Pemimpin (Penguasa) Boleh Secara Terbuka, Tidak Mesti Sembunyi-Sembunyi

(Bantahan Ahlus Sunnah Terhadap Syubhat Mulukiyyah, Kaum Murji’ah Penjilat Penguasa)
Oleh: Maaher At-Thuwailibi
 
Kata mereka, haram mengkritik penguasa secara terang-terangan. Menasehati penguasa (pemimpin) mesti sembunyi-sembunyi.
 
Dalilnya adalah Hadits yang di riwayatkan Ibnu Abi Ashim dalam kitab As-Sunnah, riwayat Ahmad dalam kitab Musnadnya, dan riwayat Al Hakim dalam kitab Mustadraknya yang menyatakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam :
 
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
"Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa, maka janganlah menyatakannya di depan umum dengan terang-terangan. Hendaklah ia memegang tangan penguasa itu (dan mengajaknya ke tempat tersembunyi). Maka bila penguasa itu mau mendengar nasehat tersebut, itulah memang yang diharapkan. Tetapi bila tidak mau mendengar nasehat itu, sungguh penasehat itu telah menunaikan apa yang diwajibkan atasnya."
 
Inilah dalil yang sering dijadikan hujjah (argumentasi) bahwa tidak boleh menasehati penguasa di tempat umum yakni secara terang-terangan.
 
HADITS INI DHA’IF.
Silahkan baca kitab Adh-Dhu’afa’ Al-Kabir karya Al-Imam Al-‘Uqaili.
Sehingga gugurlah hujjah orang-orang yang mengatakan bahwa tidak boleh mengoreksi penguasa di tempat umum secara mutlak tanpa perincian (tafshil).
 
Muncul pertanyaan, apakah ketika dalil mengoreksi/mengkritisi penguasa di tempat umum itu dha'if (lemah), kemudian boleh mengoreksi penguasa di hadapan umum (secara terbuka)?
Jawabannya: BOLEH jika dapat mendatangkan maslahat.
 
Contoh kasus, Ahok penista agama dibiarkan oleh pengusa dan terkesan di lindungi. Penista agama yang harusnya di penjara, justru terkesan dibela. Melindungi penista agama adalah kezoliman yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam. Lalu, perwakilan ummat dari kalangan tokoh dan ulama pun mendatangi penguasa dengan cara yang terhormat, tetapi tidak diindahkan dan tidak mendatangkan maslahat buat ummat.
 
Ulama dan ummat pun semakin marah dan kecewa karena agama mereka di hina, kitab suci mereka di nista. Akhirnya para ulama, tokoh ummat, dan aktivis dakwah secara bersamaan melakukan KRITIK TERBUKA terhadap pemerintah yang ada. Menuntut keadilan atas penista agama. Mengkritik rezim penguasa lewat sarana yang ada; dengan pembentukan opini, lewat medsos, ceramah-ceramah, tabligh akbar, seminar, tulisan-tulisan, aksi-aksi damai, dst.
 
Akhirnya, pemerintah pun sedikit mulai peduli dengan SUARA UMMAT. setidaknya si penista agama di periksa, di adili, dst. Tentu mendatangkan maslahat. Maslahat lainnya adalah, ummat menjadi sadar akan pentingnya persatuan dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan. Dalam kasus-kasus besar dan urgent seperti ini maka BOLEH MENGOREKSI ATAU MENGKRITISI PEMERINTAH SECARA TERBUKA selama hal itu dapat mendatangkan maslahat. Bahkan termasuk JIHAD YANG PALING AFDHOL.
 
Adakah dalil shahih yang membolehkan hal tersebut?
Jawabannya, ADA. dalilnya adalah Sabda Rasulullah ‘alaihi shalawatu wa salam:
 
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (yang haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim.”
(HR Abu Dawud 4346, Tirmidzi no 2265, dan Ibnu Majah no 4011).
 
Dalil ini mutlak, artinya disyari’atkan mengkritik penguasa yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai caranya, apakah secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai kaidah ushuliyah yang berbunyi: “al-ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalilun yadullu ‘ala taqyiid” (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat yang mengikatnya).
 
Intinya, menasehati atau mengkritik penguasa itu memang HARUS DENGAN MA’RUF, SANTUN, DAN BERADAB. Karena memang demikian hukum asal dalam amar ma’ruf (menyampaikan kebenaran); baik kepada penguasa (umaro’) atau bukan. Hukum asal memberi nasehat adalah dengan cara ma’ruf, tetapi tidak berarti ada batasan syar’i harus sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Segala sesuatunya dikembalikan kepada kondisi dan ditimbang mashlahat dan madharrat. Sedangkan maslahat-madharrat ini kaitannya untuk kepentingan ummat secara menyeluruh, bukan untuk kepentingan satu kelompok saja atau kalangan tertentu saja.
 
Menasihati/mengkritik penguasa (baik secara sembunyi atau terbuka) bukan soal salah benarnya, tetapi soal efektifitas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin Rahimahullah. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa dirubah kezhalimannya dengan tekanan moral dan mental dari rakyatnya sehingga cara ini lebih efektif, dan ada model penguasa (pemerintah) yang bisa dirubah dengan cara tertutup, dinasihati oleh orang terdekatnya secara rahasia misalnya, dst.
 
TETAPI, TIDAK ADA SATUPUN ulama Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa mengkritik penguasa secara terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan Khawarij. Sampai-sampai disamakan dengan aksi-aksi bakar diri. Ini adalah pengertian yang amat jauh dan sangat dipaksakan. Doktrin ngawur yang membodohi ummat secara massal.
 
Menasehati/mengkritik penguasa dan mengingkari penguasa BUKAN BERARTI MENGAJAK MEMBERONTAK, karena memberontak penguasa (revolusi) ini memiliki syarat yang sangat ketat di dalam syari’at yang mulia ini. Mengingkari penguasa dengan ma’ruf adalah manhaj Ahlus Sunnah. Bukan dengan bakar-bakar diri di hadapan publik. Jadi anda tidak perlu lebay; nasehat kepada penguasa anda samakan dengan pemberontakan dan aksi bakar diri. Tidak usah membodohi ummat dengan retorika usang yang demikian konyol.
 
Kalangan yang memvonis bahwa mengkritik penguasa hukumnya haram secara terbuka adalah TREND kelompok mulukiyyah (sekte murji’ah modern yang memang dipelihara oleh penguasa). Sejatinya, mereka tidak terima dianggap mulukiyyah, tetapi begitu gampang memvonis kalangan lain dengan “khawarij”, “hizbi”, “takfiri”, dst. Wal-‘Iyaadzubillah. Sedangkan Ahlus Sunnah menimbang segala sesuatunya dengan timbangan syariat yang bersumber dari dalil naqli dan aqli. Bukan dengan kepentingan kelompok (hizbiyyah) dan hawa nafsu. Wallahu A’lam bis Shawab.
 
Saatnya mencerdaskan ummat dengan teladan salaf, mari bangkit dari kebodohan dan taqlid buta yang membinasakan.
==========
“Cahaya Salaf Group”
[Pustaka At-Thuwailibi Channel]

No comments:

Post a Comment